Tuesday 2 December 2014

[Cerpen] Anak Laki-Laki Di Malam Hari


Mimpi itu lagi. Sudah dua kali aku mengalami mimpi seperti itu sejak kami pindah ke rumah ini. Ternyata aku salah. Tempat ini tidaklah seseram dugaanku. Rumah ini adalah bekas dua bangunan bersejarah di daerah pinggiran kota. Dekat sekali dengan hutan. Daerah di sekitarnya bukanlah daerah yang ramai. Tapi apa yang bisa diharapkan dari harga rumah yang sangat tinggi di zaman sekarang? Lagi lagi aku salah; kami tidaklah begitu miskin—setidaknya kami tidak kesulitan untuk membeli rumah. Kami mempunyai dua pilihan: membeli rumah yang sangat sederhana di daerah ramai dengan dua kamar tidur saja, yang berarti aku harus membaginya dengan dua saudaraku; atau membeli rumah dengan 4 kamar tidur di daerah pinggiran kota. Ternyata jiwa kami yang mengingnkan kenyaman dan ketentraman telah memenangkan perdebatan ini. Jadi kami memilih pilihan kedua.

Kami pindah ke sini dua minggu yang lalu. Ayah kami mengizinkan kami untuk memilih kamar yang kami inginkan. Aku bersama dua saudaraku segera masuk berebutan dari pintu depan. Memilih kamar yang menurut kami paling bagus. Tentu saja orang tua kami tidak perlu berebut seperti kami. Orang tua selalu mendapatkan ruangan yang paling besar—ini adalah peraturan tidak tertulis, yang semua orang pasti tau itu. Seperti biasanya, aku memilih kamar di tengah. Kamar yang sudah kami pilih bebas untuk didekorasi sesuai selera kami masing masing. Aku mengecat dinding kamarku dengan warna biru dan merah. Warna biru selalu memberiku ketenangan. Sementara warna merah memberiku kekuatan dan keberanian. Aku tidak suka memasang lukisan ataupun foto di dinding. Jadi aku membiarkannya kosong. Itu membantuku untuk membayangkan luasnya ruang angkasa di kamar yang kecil ini.

Aku tidak suka memilih banyak perabot rumah untuk kamarku. Tempat tidur, benda paling besar di kamarku, aku letakkan di pojok kanan. Di sampingnya adalah meja belajarku. Aku tidak mau bersusah payah berjalan ke tempat tidur setelah lelah bertarung dengan PR PR-ku yang biasanya menumpuk. Di sisi lainnya terdapat kamar mandi. Ditambah dengan bangku untuk melengkapi meja belajarku. Dan itulah semua perabotan di kerajaanku. Hahaha.

Baru saja aku mengharapkan kehidupan yang aman di sini, hal itu terjadi. Mimpi, maksudku. Seminggu yang lalu, seorang anak aneh muncul di mimpi yang tidak pernah aku alami sebelumnya. Anak laki laki, kira-kira seumuran adikku, menatapku dari kaki tempat tidur dengan muram. Wajahnya sangat pucat. Dia sama sekali tidak mengucapkan apapun, hanya menatapku dengan pandangan yang sedih. Lalu dia berjalan ke pintu kamar. Dia berhenti tepat sebelum dia membukanya. Dia menatapku sekali lagi, seakan memintaku untuk mengikutinya. Tapi aku tidak punya keberanian untuk itu. Anak itu menatapku dengan sedih, membuka pintu, keluar, dan menutupnya lagi dengan perlahan. Entah kenapa aku jadi merasa bersalah saat melihat dia pergi. Tapi itu hanyalah mimpi, setidaknya begitulah menurutku.

Beberapa hari kemudian tanpa satupun mimpi membuatku melupakan mimpi aneh itu—setidaknya sampai malam dua hari yang lalu. Aku bermimpi tentang anak itu lagi. Dia menatapku dengan wajah pucat dan tatapan muram yang sama dengan yang terakhir kali. Aku tidak tau siapa anak itu, atau apa alasan dia menghantuiku di dalam mimpi. Aku terbangun, merasa sangat bingung. Tapi sekarang aku berjanji kepada diriku sendiri. Jika mimpi itu datang lagi, aku akan berusaha untuk mencari jawabannya. Akan kuberitahu kamu kenapa.

Aku sudah mendapatkan teman di lingkungan yang baru ini. Beberapa diantara mereka adalah pendatang baru, sama sepertiku. Tapi yang lain telah tinggal di sini sejak mereka lahir. Aku dan teman-teman baruku menghabiskan waktu luang di siang hari dengan bermain sepak bola di lapangan terdekat atau hanya sekedar ngobrol. Suatu sore, temanku Ando memberitauku bahwa tempat ini tadinya adalah kebon, tempat di mana biasanya penduduk setempat mencari kayu bakar. Anak-anak dilarang memasuki kebon ini karena konon katanya kebon ini angker dan berbahaya. Yang seorang lagi, Binu, mengatakan bahwa ayahnya pernah menemukan ular besar di sana. Lalu Elam mengatakan sesuatu yang sangat mengganggu pikiranku. Dia menceritakan kepada kami ketika dia berumur delapan tahun, dia mempunyai teman yang bernama Dodo. Suatu hari dia mengajak Elam pergi ke kebon angker itu, tapi Elam menolaknya. Elam tidak tau apa yang terjadi selanjutnya. Tiba-tiba dua hari kemudian terdengar berita bahwa Dodo hilang. Setiap laki-laki di desa segera melaksanakan operasi pencarian Dodo, tapi mereka tidak menemukannya di mana mana. Sejak itu tidak ada seorangpun yang pernah melihat Dodo lagi.

Dengan menarik nafas panjang, aku menarik kelambu dan segera tertidur.

Dan mimpi itu terulang lagi. Anak laki-laki itu berdiri di dekat pintu. Aku melihat matanya. Dia tetap tidak mengatakan apapun, tapi dia mengangguk ketika kutanya apakah dia ingin aku mengikutinya. Sebelum meninggalkan kamar, aku menanyakan siapa namanya. Tapi dia tidak menjawab, sebagai gantinya dia hanya memberiku senyum hampa. Kami keluar melewati pintu depan rumah yang akan membawa kami ke halaman. Tapi, hey, ini bukan halaman rumahku! Aku melihat semak yang lebat dan pohon yang tinggi, alih-alih halaman rumahku yang ditumbuhi dengan rumput hijau dan beberapa bunga favorit ibuku. Aku berhenti berjalan. Anak laki-laki itupun berhenti sejenak, menatap ke arahku, dan melanjutkan berjalan sampai dia tiba di tempat di mana ibuku menanam bunga tulip.

Tiba-tiba aku terbangun. Masih di tempat tidurku, bukan di luar rumah.

Apa sebenarnya yang anak itu inginkan dariku? Kenapa dia terus menerus muncul di dalam mimpiku? Aku harus melakukan sesuatu. Di luar rumah masih gelap karena masih jam dua malam. Tapi aku tetap pergi ke halaman. Aku memeriksa semak bunga tulip. Tidak ada sesuatu yang aneh di sana. Aku pindahkan tanaman dengan hati-hati dan memindahkannya ke tempat lain untuk sementara. Dengan menggunakan sekop yang kutemukan di garasi, aku cabut rumput di sekitar semak tulip. Aku gali, gali dan terus menggali, sampai sekopku menyentuh sesuatu yang keras. Aku mengintip ke dalam lubang yang telah aku buat. Aku melihat sesuatu yang memiliki permukaan tidak rata. Aku jadi penasaran benda apa itu sebenarnya. Dengan menggunakan tangan kananku yang bebas—tidak memegang sekop, aku menarik benda keras tersebut keluar. Aku membawanya ke tempat yang lebih terang agar dapat terlihat dengan jelas. Aku menjerit keras sekali. Aku telah mengambil tulang rahang manusia dengan tanganku. Aku mendengar langkah kaki cepat yang berasal dari dalam rumah sebelum semuanya berubah menjadi gelap...
Comments
0 Comments

No comments :

Post a Comment

Berkomentarlah dengan bahasa yang sopan. Jangan ngajakin berantem, apalagi sok2an bawa pasukan demi berantem di komentar ^_^
Your comment will help me make better article for this blog :)